Mbah Sholeh Semendi Pasuruan: Penakluk Pendemi Sakti di Kadipaten Winongan

Mbah Semendi – Salah satu legenda Islam di tanah Jawa yang terkenal sebagai embrio pesantren yang khas dengan ilmu ke-tabib-an (kedokteran) di wilayah Pasuruan zaman dahulu. Banyak kisah yang menceritakan tentang karomah (kesaktian) Mbah Sholeh Semendi Winongan dalam menghadapi berbagai tantangan pada saat syi’ar Islam di wilayah Pasuruan, Jawa Timur.

Salah satunya adalah karomah Mbah Semendi dalam menaklukkan dan mengusir wabah ‘lepra’ yang melanda penduduk kadipaten Winongan kala itu. Menurut cerita turun temurun dari Abah H. Munip yang diceritakan dari gurunya, konon Mbah Semendi diperitah oleh gurunya untuk membantu warga penduduk Kadipaten Winongan yang sedang menghadapi wabah penyakit ‘lepra’. Dikutip dari klinikdokter.com penyakit lepra, yang juga dikenal dengan sebutan penyakit kusta atau Morbus Hansen, adalah penyakit infeksi kronis yang disebabkan oleh Mycobakterium Leprae. Penularan bakteri M. Leprae adalah melalui cairan dari hidung yang biasanya menyebar ke udara ketika penderitanya batuk atau bersin. Kala itu banyak warga penduduk Kadipaten Winongan yang lumpuh dan bahkan meninggal dunia karena terjangkit ‘lepra’.

Dengan budi pekerti yang luhur dan kesabaran yang tinggi Mbah Semendi meminta izin kepada beberapa keluarga yang sedang sakit ‘lepra’ untuk membantu mengobatinya. Dalam cerita yang dibeberkan Mbah Semendi sambil mengobati juga sedikit demi sedikit memberikan wejangan kepada keluarga itu bahwa “ini hanyalah lantaran (perantara), yang memberikan kesembuhan hanya Allah subhanahu wata’ala.” Dengan model dakwah seperti itu masyarakat dikenalkan tauhid Islamiyah secara perlahan-lahan sehingga sedikit-demi-sedikit masyarakat mau mengikuti Islam yang melalui ajaran dakwah dari Mbah Sholeh Sumendi. Kala itu ‘lepra’ juga mewabah ke dalam keluarga ndalem kadipaten Winongan, salah satu putri Adipati Winongan sedang terjangkit penyakit ‘lepra’. Karena sudah diupayakan penyembuhan berkali-kali dan tidak menunjukkan hasil, sehingga Adipati Winongan menggelar sayembara, “barang siapa yang berhasil menyembuhkan putrinya, jika dia adalah perempuan – maka akan dijadikan bagian dari keluarga kadipaten, jika dia adalah laki-laki – maka akan dipersuntingkan dengan putrinya.”

Mendengar berita sayembara itu, masyarakat yang pernah dibantu oleh Mbah Semendi mendorong agar Mbah Semendi turut serta dalam sayembara tersebut. Singkat cerita, pada giliran Mbah Semendi akhirnya putri Adipati pun sembuh. Sesuai janjinya, maka putri Adipati dipersunting oleh Mbah Semendi, dan masuk Islam. Mbah Semendi dan putri Adipati diberi lahan untuk ditinggali, konon diceritakan lokasinya berada di Segoropuro, sekarang menjadi nama sebuah Desa Segoropuro Kecamatan Rejoso Kabupaten Pasuruan. Lokasi itulah yang kemudian menjadi pusat dakwah Mbah Sholeh Semendi.

Abah H. Tulus, juru kunci makam Mbah Sholeh Semendi, juga pernah menceritakan kisah karomah Mbah Semendi. Suatu ketika Adipati Winongan tersinggung dengan upaya Mbah Semendi yang dianggap ingin merubah tatanan warga masyarakat Winongan dari ajaran kepercayaan leluhur menjadi ajaran Islam yang masih dianggap asing kala itu. Sehingga terjadi perselisihan antara Adipati dan menantunya itu, karena Adipati tidak ingin ada orang lain yang lebih sakti dan berkuasa selainnya di wilayah Kadipaten Winongan. Dengan demikian, akhirnya Adipati meminta Mbah Semendi untuk adu tanding kesaktian dengannya. Mulanya Mbah Semendi tidak berkenan karena baginya Islam adalah ajaran yang arif dan bijak, tidak perlu untuk mengadu kekuatan otot seperti yang diminta oleh Adipati. Namun demikian, Mbah Semendi terpaksa harus menuruti keinginan mertuanya karena dipaksa-paksa untuk menerima tantangannya, dengan syarat ketika Mbah Semendi berhasil mengalahkannya – maka Adipati harus mengikuti ajaran Mbah Semendi. Karena Adipati sudah tertutupi dengan rasa gengsi sebagai pemimpin wilayah, maka Adipati pun menerima syarat tersebut. Pertandingan pun dimulai dan menjadi tontonan warga masyarakat.

Tantangan pertama – barang siapa yang berhasil mengambil buah kelapa dengan ‘mudah dan paling cepat’ yang berada di atas pohon di depan keduanya, maka dialah yang menang. Mbah semendi mempersilahkan mertuanya terlebih dahulu, dengan secepat kilat Adipati naik ke atas pohon kelapa dan turun dengan membawa buah kelapanya. Kemudian, giliran Mbah Semendi tidak naik ke atas pohon kelapa seperti yang dilakukan oleh Adipati, tetapi Mbah Semendi memanggil pohon kelapa itu dengan lembut, ‘wa Allahu a’lam’ pohon kelapa itu langsung merunduk dan dengan mudah Mbah Semendi mengambil buah kelapanya. Adipati pun sontak tertegun dengan cara dan kesaktian Mbah Semendi. Tantangan kedua – barang siapa yang mampu bertahan dan tidak terbakar di dalam kobaran api, maka dialah yang menang. Konon Adipati ini terkenal dengan sebutan ‘Mbah Laboh Geni’ karena kesaktiannya yang tidak bisa terbakar oleh api. Mbah Semendi pun menerima tantangan itu, dan mempersilahkan mertuanya untuk mendahuluinya. Singkat cerita, selama berjam-jam Adipati berada di dalam kobaran api dan berhasil keluar dengan tanpa ada tanda-tanda terbakar sedikit pun. Kemudian pada gilirannya, Mbah Semendi pun berjalan menuju kobaran api itu. Walhasil, ketika Mbah Semendi baru menginjakkan kaki di permukaannya, kobaran api itu pun padam dengan sendirinya. Adipati pun sontak tertegun dan heran. Seperti tidak percaya itu terjadi, Adipati meminta Mbah Semendi mengulanginya berkali-kali, dan hasilnya pun sama, api itu padam seakan-akan tidak ingin menyentuh seperti memberi hormat kepada Mbah Semendi. Akhirnya, Adipati pun bertekuk lutut di hadapan menantunya dan bersumpah akan menepati janjinya untuk mengikuti ajaran Mbah Semendi.

Suatu ketika Adipati Winongan itu meninggal dunia, dan Mbah Semendi diminta untuk meneruskan kursi Kadipaten Winongan menggangtikan mertuanya. Sementara itu, padepokan pesantren di Segoropuro diteruskan oleh menantunya Mbah Semendi, yakni Mbah Sayyid Arif Hidayatullah, putra dari Mbah Ratu Ayu Syarifah Khadijah, yang merupakan cucu dari Sunan Gunung Jati. Salah satu putra Mbah Ratu Ayu Syarifah Khadijah bernama Sayyid Sulaiman Basyaiban konon merupakan ‘muassis‘ berdirinya Pondok Pesantren Sidogiri Pasuruan.

Komentar

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *